Selasa, Juli 10, 2012

Mencari Timur


Mencari Timur

Cerpen Sainul Hermawan
 
Dicari: Telah meninggalkan rumah pada hari Minggu, 5 Juni 2005, seorang gadis berusia 29 tahun, rambut hitam ikal. Tinggi sekitar 170 cm, kulit kuning langsat, muka oval, hidung mancung, alis tebal, bibir tipis, berlesung pipi, bertahi lalat di dagu bagian kanan, berleher jenjang, suka pakai jaket dan celana jeans. Bagi yang menemukan harap hubungi telepon/fax 0511- 3256446, ponsel 08175409395, email: fauji@yahoo.com. Kami atas nama keluarga yang merasa sangat kehilangan menyediakan imbalan yang layak. Terima kasih.
 
Mustaqimah tersenyum membaca iklan tentang dirinya di harian nasional itu. Dia yakin tak akan ada orang yang akan mengenali dirinya di tempat persembunyian. Apalagi dia telah mengubah penampilan. Iklan itu hanya dapat menggambarkan sebagian tentang dirinya.
Kini dia tak lagi suka pakai busana jeans. Dia kini dia suka rok mini dan t-shirt casual dari bahan katun. Rambutnya tak lagi ikal dan hitam legam karena telah tersentuh rebonding dan semir pirang. Sorot matanya tak lagi tajam. Sorot yang dulu tajam kini diredupkan oleh soft-lenses beragam warna. Hari ini bisa coklat, esok hijau, dan lusa mungkin biru. Bahkan tahi lalatnya sudah diangkat dengan operasi kecil meski dia tak bisa menimbun lesung pipinya apalagi sampai nekad memperpendek lehernya.
Melakukan semua ini bukan sesuatu yang sulit baginya karena bunga tabungan pribadi yang diberikan orang tuanya setiap bulan hampir mencapai Rp 25 juta. Dalam hidupnya segala keinginan dapat dia penuhi kecuali satu hal: bahagia. Dia dibebaskan memilih kesenangannya kecuali dua hal: jodoh dan mati. Yang pertama wewenang ayahnya, yang kedua bagian Tuhan.
Ayahnya telah mempersiapkan calon suami yang pantas melalui mekanisme seleksi warisan leluhur yang disebut jujuran. Ayahnya adalah orang yang yang tak percaya pada cinta. Imus harus menikah dengan calon suami pilihan ayahnya, meski dia tak cinta, karena cinta, bagi ayahnya, hanyalah ilusi. Sebab, ketika Imus harus menikah dengan siapa saja dalam budayanya, penghulu pasti bertanya apa dan berapa maskawinnya. Cinta itu apa? Mungkin sampah. Residu pelamun dari abad-abad pujangga.
Imus harus menikah dengan pilihan ayahnya karena ayahnya yakin kekayaan keluarganya dapat dilanggengkan lewat jalur perkawinan. Kawin dengan orang yang tidak sederajat hanya akan membuat hidup melarat, sekarat. Pikiran semacam itu sebagian masih bersemayam di dalam diri Imus. Ia pernah mengiyakan, tetapi dia telah terlanjur memilih jalan lain: melarikan diri.
***
Ka Imus, umpati haja kahandak Abah. Itu hagan kabahagiaan Kaka jua?”
Ding, bahagia itu tidak sederhana.”
“Benar kalu kalau Abah menghargai derajat Ka  Imus dengan jujuran nang larang karena di sini bibinian berharga dan pria harus perkasa dalam segalanya, termasuk ekonominya, bukan hanya pada alat kelaminnya?”
“Itu bagi mereka, dan mungkin juga bagi ikam. Apakah aku tak boleh berbeda karena aku hanya merasa itu akal-akalan orang-orang yang merasa sudah tuha?”
Ading balum paham, Ka ai.”
“Pada saatnya kamu akan mengerti kalau kamu mau buka diri pada kenyataan-kenyataan baru di luar tempurung kita.”
“Ini kabiasaan matan bahari, Ka ai. Bubuhan kita kawa sanang samuaan karana kaya itu.”
“Tidak, Ding. Kita pura-pura bahagia banarai. Kaka mau merasakan empedu kebahagiaan semu itu meski mungkin bagi orang lain ini sudah bukan soal baru.”
Kanapa Ka Pian pina aneh banar?”
 
***
Aku masih balum kalumpanan lawan pamandiran kita tarakhir, Ding ai. Aku kaganangan banar ikam. Jangan ditampai akan surat ini lawan siapa haja, apalagi Mama. Aku kada handak maulah Sidin makin marista. Kukirim ka sakulahan Ikam haja. Mudahan sampai. Ikam masih sakulah di SMA 2 kalu? Mun sudah dibaca, buang haja suratnya atawa banam atau dicarik. Kada papa. Kaka basimpan di wadah nang aman. Kaka wayah ini kaya burung saka handak hinggap, tapi kada tahu di  mana sarang, tapi masih ingat ampah bulik. Jadi kada usah mancari alamat nang ada di amplok ini, sabab sabujurnya surat ini Kaka kutilis matan surga. .
 
Sayang selalu.
Ka Imus
 
Sayang aku tak bisa membalas suratnya untuk mengabarkan, entah suka atau duka. Aku harus menggantikan posisinya sebagai calon istri bagi lelaki yang setahun lalu adalah calon suaminya. Aku iba melihat Abah dan Mama murung hampir sepanjang tahun karena malu. Mungkin juga terlalu sedih karena anak sulungnya lenyap.
Sejak keinginannya kuiyakan, wajahnya tak lagi mendung. Kupastikan agar lelaki itu menunggu sekolahku selesai. Dia mau. Bahkan dia mendorongku untuk melanjutkan kuliah di universitas terbaik di mana saja aku mau. Dia mau menanggung biayanya. Betapa baiknya.
Dia calon orang penting di banua ini. Dia ingin calon istri yang sederajat. Bukan hanya anak orang kaya, tetapi yang lebih penting sang calon itu harus mau cerdas. Setidaknya dapat diandalkan untuk menghadapi diplomasi mulai dari tingkat RT sampai internasional. Terutama dia sangat mengharapkan aku mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan bodoh para wartawan.
Sayang aku tak bisa mengirimkan MMS lagi kepada Ka Imus agar dia tahu bahwa calon suamiku, yang setahun lalu calon suaminya, tak seburuk yang dibayangkannya. Ka Imus terlalu percaya pada pikiran-pikiran baru dari sumber bacaan yang dipinjamnya dari dosen sastranya. Dia jadi terlalu percaya pada cinta klasik.
Ya, cinta klasik. Cinta yang diyakininya harus murni tumbuh dari lubuk hati terdalam. Cinta yang harus dilukis oleh maestro pada kanvas yang masih baru dengan semangat mencipta yang menggetarkan. Cinta yang dilantunkan pujangga yang mengasingkan diri dari kebisingan dunia. Bukan cinta pada lagu-lagu dangdut atau tembang pop yang segera layu setelah ada lagu yang lebih baru.
Cinta semacam itu, bagi ayah, menyesatkan. Virus borjuis yang disuntikkan kepada proletar agar lupa pada kenyataan hidupnya. Itu aku tahu dari percekcokan terakhir antara Abah dan Ka Imus.
“Cinta seperti apa yang Ikam cari?” Baru kali itu aku melihat wajah Abah begitu merah dan matanya seakan menyala.
“Bagi Imus itu telalu cepat, Bah. Dia belum kenal Imus, apalagi Imus, meski dia calon pejabat penting.” Meski dia membantah, Ka Imus tak mau menatap wajah Abah.
“Sambil jalan kan kalian bisa saling menjajaki, saling mengenal dalam ikatan pernikahan. Itu lebih baik daripada saling mengenal dalam ikatan pacaran yang kabur, ngawur, menjijikkan.”
“Dengan segala risikonya?”
“Maksudmu?”
“Imus harus terpaksa menerimanya meski akhirnya Imus tahu dia telah tidur dengan banyak perempuan sebelumnya dan mungkin saat ini? Dan apakah dia juga mau terpaksa menerima Imus kalau akhirnya dia tahu bahwa Imus sedang pacaran dengan banyak pria?”
Ka Imus tetap bertahan di tempatnya. Abah pergi memenuhi janji dengan rekanannya di luar banua. Mama tak mau mendekat. Percuma mendekati Ka Imus dalam suasana hati seperti itu. Mama juga tak tahu kemana pastinya Abah pergi. Kata tetangga yang pernah menjumpai Abah, Abah pergi ke negeri di mana bule-bule tergila-gila pada mataharinya yang akan terbit dan terbenam. Yang Mama tahu dengan pasti adalah Abah selalu datang dengan membawa uang yang berlimpah dan cerita bahwa kekayaannya bertambah lagi saat itu.
Aku baru sadar ketika Ka Imus telah pergi. Ternyata bisikan pelannya di telinga kiriku malam itu adalah isyarat: akan kuselesaikan persoalan ini dengan caraku.
***
namaku imus
aku datang dari negeri tanpa selokan
dulu negeri seribu sungai
kini negeri seribu jamban
 
Lincah sepuluh jarinya bersemangat menari di atas tuts-tuts papan ketik di Warnet Melasti Kuta. Dia sedang melakukan provokasi di channel Denpasar. Jemari itu seperti mewakili hatinya yang rindu pada sesuatu yang hilang.
 
Itu negeriku juga, kenalan dong
asl plis
kamu?
30, m, kuta
29, f, kuta
mau apa?
 
Di tempat lain, lelaki di ruang manajer hotel berbintang mulai mengira inilah perempuan yang dia inginkan. Perempuan yang berkata-kata tiga kali lebih banyak daripada dirinya. Keinginan yang kandas setahun silam dan masih diperam bersama dendam sampai saat itu.
 
aku mencari lelaki yang percaya
bahwa cinta itu masih ada
cinta yang berani berkata tidak pada
harta!
mungkin bukan aku
bolehkan aku mencoba?
aku serius
ini emailku imus@yahoo.com
telah kukirim keinginanku
ke emailmu, semenit yang lalu
 
***
Date:Tue, 09 Jun 2006 19:03:54
From: "Jazuli"  
Subject: menikahlah denganku
To: imus@yahoo.com
 
Jazuli namaku. Aku lahir dari ibu yang tak pernah lama berkumpul dengan suaminya karena dia telah merelakan dirinya jadi istri yang entah ke berapa. Suaminya, mungkin juga ayahku, selalu datang menjelang subuh dari negeri seribu singai ke negeri seribu pura untuk menemukan impian yang lain. Mungkin cinta. Mungkin pula tinja. Pernah aku beberapa saat ke negerinya, tanpa sepengetahuan keluarganya, dan aku jatuh cinta pada sekuntum bunga nang bungas. Tapi kandas. Aku tak sanggup penuhi jujuran. Rindu itu kupendam, kuperam, untah untuk siapa yang akan datang dari negeri yang sama, dengan kekhasan yang sulit kulupakan. Tapi aku bukan sang aloerotis. Meski ayahku orang kaya, aku tak mau merepotkannya untuk soal ini karena ibuku hanya istrinya yang kesekian, persinggahan bagi kesepian batin pejantan yang rapuh. Aku kini salah satu manajer hotel berbintang di Nusa Dua. Sebenarnya bisa saja nikah dengan siapa saja. Tetapi aku terlanjur percaya pada cinta, sesuatu yang kukenal bukan lantaran aku jebolan sastra udayana. Sayang dia telah memilih orang lain. Siapakah yang akan datang sebagai dirinya yang lain, seperti pertama kali hati ini digetarkan. Kamukah?
Izul
 
Dalam attachment dia menyelipkan foto. Imus langsung mendowloadnya ke flashdisk. Cakep sekali orang ini. Banjar banget! Dia berbisik kepada batinnya sendiri. Sambil membaca email dalam jendela yang kecil di monitor komputer, di jendela mIRC dia dapat membaca ekspresi Izul yang gelisah dan berteriak, takut ditinggalkan. Imus tersenyum.
aku masih di sini
lagi baca emailmu
kayaknya kita harus ketemu
malam ini?
besok sore
dmn?
kuta square
dmn?
coffee shop
bukankah kamu perempuan?
bukankah kamu laki-laki?
maksudnya?
kamu duluan di sana
pakai busana seperti di fotomu
hanya dengan cara itu
aku bisa mengenalmu
jam?
kamu manajer
kamu yang atur
3 sore wita
wita bali bukan wita banjar
ok?
ok, bye.
 
***
Dia adalah orang kita yang lain di tengah para bule yang angkuh: seorang manajer, bukan pengasong yang berjualan dengan gaya preman dan pengemis. Dia begitu elegan. Dia tak tahu aku telah datang lebih awal ke toko di seberang coffee shop itu. Aku menyeberang, dia tampak tak menggubris. Begitu tiba waktunya, kuhampiri ia. Dia seperti tercekat.
“Saya Imus. Perempuan yang kamu tunggu.”
Dia melongo. Kali ini dia layak dipecat sebagai manajer hotel berbintang. Dia kehilangan dimensi soknya sebagai orang penting.
“Kenapa? Ada setan?”
“Sejak kapan Barat masuk Banjar?”
“Sejak tinja lebih berharga daripada hutan, permata, dan batu bara.”

Rupanya, di matanya, aku lebih Barat daripada orang Barat bahkan lebih Barat lagi daripada orang-orang Banjarmasin Barat.
“Tinggal di mana?”
“Di hotel ini.” Aku tunjukkan tas souvenir berlogo hotel berbintang.
“Itu hotelku. Kamar berapa?”
“103. Lantai dua. Agar aku bisa leluasa memandang sun raise.”
“Kenapa jauh-jauh kita ketemu di sini. Di hotelku kamu bisa merasakan masakan koki-koki hotelku.”
“Di bawah kekuasaanmu?”
Dia diam.
“Ini tempat netral, meski aku yang harus bayar karena ini pilihanku.”
Ikam begitu serius.”
“Bukankah ikam manajer?”

Dia tertawa. Aku tersenyum. Kami ngobrol sampai pagi. Hanyut terbawa menyusuri night-life Bali sampai pagi. Sampai kami masuk angin dan dia ambil cuti beberapa hari. Kami pelesir menyusuri banjar-banjar pinggiran yang tenang, menghirup wewangian pulau dewa. Sampai akhirnya dia menyatakan keputusannya. Dia mengajakku menikah. Dia bilang tak perlu melamarku sebagai anak dari keluarga Banjar. Dia ingin melamarku sebagai perempuan dewasa yang matang di pelarian. Dia bilang ingin melamarku kepada angin semata dengan maskawin yang tak kasat mata: cinta. Tetapi kubilang aku tak dilahirkan oleh batu. Orang tuaku harus tahu. Dia setuju.
***
Seminggu lagi Imus akan menikah di hotel Izul. Seminggu sebelumnya Imus mengabari orang tuanya. Adik dan ibunya terharu, menahan tangis, dan rindu mereka belum layu. Dia hanya memberi tahu siapa calonnya dan di mana pestanya akan berlangsung. Ayahnya gelisah. Imus memberikan nomor ponsel barunya yang selama ini dia rahasiakan. Ayah mengirimkan MMS buatnya, menanyakan seperti apa calon menantunya. Imus mengirimkan foto Izul yang telah disimpan dalam folder ponselnya. Abahnya tercekat. Jantungnya berdegub aneh, tetapi dia tak menceritakan sebabnya kepada siapa saja. Dia sangat kenal dengan lelaki calon menantunya itu: wajah yang sangat akrab sekaligus jauh.
Tiga hari menjelang 9 Juli 2006 kedua calon pengantin itu mengasingkan diri. Imus tak lagi tinggal di hotel Izul. Dia menyewa cottage kecil di sekitar Pantai Benoa. Sampai waktunya tiba, Imus tak muncul. Izul tak berani tampil ke pelaminan yang telah disiapkan. Diutuslah beberapa panitia untuk menjemputnya. Mereka  tak melihat tanda-tanda kehidupan di cottage itu. Mereka masuk. Kosong. Mereka menemukan ponsel Imus dalam posisi baru saja menerima MMS. Ada suara abahnya yang marah dan foto Izul di dalamnya. Mereka tak berani mengutak-atik posisinya, hanya mengambil dan menyerahkan kepada Izul.
Izul langsung mengomando seksi acara untuk merancang acara spontan agar para undangan tak gelisah. Pada saat para undangan harus pulang, mereka berdecak kagum dengan atraksi yang disajikan dan memaklumi permohonan maaf panitia ynag menyatakan kalau mereka salah menulis undangan. Panitia meralat, sebenarnya pada bagian acara di surat undangan itu seharusnya tertulis: pemanasan resepsi pernikahan yang akan dilaksanakan pada waktu yang belum ditentukan.
Izul tertegun. Dia terus menyimak suara ayah Imus yang memohon agar dia memikirkan rencana pernikahannya karena Izul itu adalah kakaknya dari spermatozoa yang sama tetapi dari ovum yang berbeda. Meski Izul telah lama tak percaya bahwa ayah Imus juga ayahnya, Imus yakin Izul adalah anak ayahnya juga.
Di udara, dalam pesawat yang membawanya ke arah matahari terbenam, Imus dibuai sebuah tembang dari kelompok musik idamannya. Dia menghayati lagi perjalanannya yang kembali membentur duri. Dia sedang mencari timur ke arah yang tak kaprah.
Bila ada adalah tidak ada
Bila apa yang kau tahu salah
Bila apa yang kau dengar bohong
Apakah langit memang ada di atas kita
Apakah langit memang biru, biru warnanya?
Apakah langit memang benar, benar adanya?
Tak ada kebenaran hakiki
Yang ada cuma khayal
Kamu di sana dan akulah milikmu
 
Banjarmasin, Juli 2005
 
Catatan:
Cerpen ini diilhami lagu Nonsense Dewa 19 dan Cerpen Pernikawinan Mustaqimah karya Zulfaisal Putera.

0 comments: