Sabtu, Juli 14, 2012

IA YANG MENGATUP, JADILAH KUTUB


IA YANG MENGATUP, JADILAH KUTUB
Hamiddin

Darinya aku mengerti bahasa birahi
Darinya aku memahami kata-kata
Darinya aku mulai menanam kecupan dan desahan
Darinya aku mengenal tutur
Darinya aku melahirkan bisikan-bisikan

Sudah lama aku memperhatikannya, bibir yang terkatup mengeram ribuan galaksi tempat berotasinya planet-planet. Kutub-kutubnya membeku, butiran saljunya menjadi musim gugur.  Disanalah kemudian bunga-bunga menyemai wanginya setelah lama ia memendam hasrat dalam rahim gigil dan gelora untuk bertahan hidup. Guratannya mengembalikan aku pada masa lalu, dimana debu-debu kuusap dan kukecap menjadi gelora, hingga aku bisa bertahan lebih lama berada disampingnya. Jangan biarkan ia mengatup terlalu lama sebab aku akan beranjak pergi meninggalkan dukanya.
Pernah aku bertanya, kenapa embun enggan pergi darinya… aku terlalu lemah dan tak berhasrat membiarkan ia sendiri, sebab aku telah menemukan ruang dan bilik untuk melukis, mencipta puisi, merajut kenangan, memintal kesendirian, dan menggali kelelakianku, jawabnya. Seperti itulah, jika lekukan dan kulumannya dimaknai dengan satu bahasa, bahasa birahi penuh cinta bukan bahasa cinta penuh sayang dan kata-kata mesra. Bagi siapa saja, dilarang menjadi penduduk tetap dalam dirinya, carilah kota lain yang lebih pantas dan lebih bermakna, sebab aku tak ingin orang lain memilikinya walau hanya getarnya yang bisa kurasakan dari jauh, di ruang sunyi, sendiri.
Berhari-hari aku menetap, menatap, dan berharap, suatu ketika aku akan memberi laut dan serpihan mutiara agar kilatannya menaklukkan seisi jagad raya, biar seluruh alam mengerti bahwa tak ada yang lebih berarti mengulumnya dengan bait-bait puisi. Dari gelora laut di sela-selanya, aku ingin menyemai garam dan lokan, sebab aku sudah lama mengadu rindu dan kegelisahan hanya untuk mencicipi oksigen kesungguhan cintanya yang berhembus dari aroma mawar dan semerbak melatinya. Bagiku ia bukan sedekar birahi atau kanvas yang sewaktu-waktu bisa aku lukis dengan berbagai warna, ia adalah senjata untuk menaklukkan siapa saja, termasuk diriku dan ia sendiri.
            Ia yang mengatup, jadilah kutub dan hanya aku yang boleh menggigil dalam deru badainya. Ia adalah horisonku yang sewaktu-waktu mengatarkanku pada sebuah teluk, tempat pertemuan dua dunia, kau dan aku.

Malang, 2 Maret 2006 (Hamiddin)

0 comments: