Rabu, Juli 25, 2012

HANGUS DALAM BIRAHI


HANGUS DALAM BIRAHI
Oleh Hamiddin

Sudah lima hari
Engkau rebah dalam pasrah
Engkau larut dalam kalut
Engkau resah dalam gelisah

Hampir tiap malam
Engkau datang menjemput rindu
Tapi tubuh dan hatiku
Masih berlumut candu

Ketika sore melanglang
Pada doa rerumputan dan ilalang
Tetap saja aku hilang
Dalam rimbun kicau kutilang

Untuk kesekian kali
Aku masih mengasuh kerikil-kerikil sunyi
Nafiri-nafiri cinta tak berkumandang lagi
dan akupun hangus dalam birahi

Malang, 25 Juli 2012

Selasa, Juli 24, 2012

CANDU DALAM DEBU


CANDU DALAM DEBU
Oleh Hamiddin

Sik asik sik asik kenal dirimu
Sik asik sik asik dekat denganmu

Lantunan hit Ayu Ting Ting
Menyelinap dalam hening
Jika asikku bertemu
dengan guguran rindu
aku masih ragu
karena tubuh dan jiwaku berdebu

Saat kau mengetuk pintuku
Aku gelap dalam temaramku
Sepertinya aku tak bisa mengecupmu
Karena bibirku berlumur candu

Saat musim panen sudah diujung cinta
Kenapa aku tak lagi asik
Dengan marhabanMu?

Malang, 24 Juli 2012

Senin, Juli 23, 2012

BERTEMU FAIZI DI RANTING JUNI


BERTEMU FAIZI DI RANTING JUNI
Hamiddin

Pagi dan sisa kopi tadi malam menemani awal kegiatanku. Setelah semalam aku mengarungi mimpi, mimpi yang selalu diharapkan baik dan menyenangkan. Aku tidak ingat, mimpi apa yang diberikan tuhan tadi malam. Pagi ini aku merasa senang dan penuh semangat. Pagi sebagai awal memulai aktivitas telah menjadikan seluruh tubuhku bergairah. Aku ingat bahwa nanti siang akan ada seminar budaya tentang kearifan lokal. Budaya sebagai identitas bangsa mempunyai ruang tersendiri bagi sebagian orang yang masih menginginkan bangsa ini memiliki karakter dan identitas diri. Mahasiswa mencoba membincangkan budaya dan kearifan lokal dalam bentuk seminar, tentu tujuannya untuk menggugah cipta, rasa dan karsa manusia indonesia yang terlelap dengan dunia hedonis dan pop. 

Hari menjelang siang, aktifitas mengajarku telah usai. Aku kembali ke kantor dan pekerjaan menungguku untuk diselesaikan. “dimanakah sekarang, Gus?” tanyaku lewat SMS kepada salah seorang pembicara dalam seminar tersebut. “Masih di jalan menuju ke Malang”, jawab beliau. “Nanti enaknya sholat Jum’at dimana, Mid?” beliau bertanya. “Kalo cukup waktunya, sholat di Pandaan saja gus, disana ada mesjid Cheng Hoo—sebuah mesjid dengan arsitektur china”. Telepon genggamku tak berdering lagi. Tak ada SMS lagi.
Matahari menuju rembang, aktifitas manusia berlalu lalang, mereka sibuk mengejar hidupnya sendiri, ada yang ke kanan dan ada yang kekiri, sementara aku kemana? Waktu menunjukkan pukul 12.50 WIB, kuambil telpon genggam untuk memastikan bahwa kedatangannya disambut dengan benar dan menyenangkan sesuai dengan budaya kita ketika mengundang orang dari luar kota. Paling tidak beliau ada yang menjemput. Ternyata benar, beliau sudah oleh panitia. Ketika kutelpon beliau, ternyata masih di warung, beliau sedang mengganjal rasa laparnya dengan bakso. Saya tidak tahu apa memang beliau senang dengan bakso, atau beliau pingin tahu rasanya bakso kota Malang yang terkenal di luar kota. Waktu terus berpacu mengejar matahari yang hendak pulang. Tiba-tiba beliau mengirim sms, “saya sudah di daerah Jl. Borobudur, ada kopi Mid?” beliau memberitahu sekaligus bertanya. “Ia gus, kami sediakan”. Beliau memang peminum kopi berat, pecandu kopi, dan kopi sudah mengentalkan perjalanan hidupnya untuk menemukan bongkahan-bongkahan karya yang arif dan bijaksana. 

Sekitar 01.30 siang, beliau datang, kamipun bertemu dengan raut muka bahagia. Tapi dari raut mukanya terlihat bahwa ia lelah selama perjalanan, tapi tertutupi dengan semangatnya untuk berbagi di seminar nanti. Hari ini, seminar itu hanya bagian yang tidak terlalu menarik bagi saya. Ada dialog kecil yang membawa makna setelah seminar selesai jam 4.15. Beliau meminta ijin untuk merokok. Secangkir kopi yang kami sediakan diminumnya dengan rasa nikmat. Di moment itulah dialog itu dimulai. Seorang panitia mulai melontarkan pertanyaan, “Apa motif Bapak menulis?”. Sambil menghirup aroma tembakau dari sebatang rokok, beliau menjawab, “saya menulis karena saya mau berbagi dengan orang lain, mau berteman, mau bersilaturrahim”. Jawaban itu menegur saya, bahwa kita sesama manusia harus saling berbagi, bersilaturrahim antar sesama. Dialog itu berlangsung dengan penuh makna, tak ada ruang yang lebih terasa kecuali dialog yang disampaikan secara sederhana. 

Ada beberapa pernyataan menarik yang disampaikan beliau tentang tentang menulis. Dalam menulis, penulis itu harus sungguh-sungguh sehingga pembaca akan membaca dengan sungguh-sungguh pula. Penulis juga harus tulus menulis karya-karyanya sehingga pembaca akan tulus juga untuk membaca karya-karyanya. Menulis harus punya target dan tujuan, kalo hanya sekedar ingin dipublikasikan dan dikenal orang, maka penulis akan kehilangan jati dirinya. Artinya bahwa penulis akan diarahkan sesuai dengan kebutuhan pasar. Dua hal itu terus melekat pada dinding hatiku, bahwa penulis harus tulus dan serius.

Sungguh percakapan yang singkat, tapi maknanya luas bertingkat-tingkat. Terima kasih K. M. Faizi, ruang yang sebentar telah mendamparkanku pada kesadaran bahwa kita harus berjati diri. 

Sore merambat, matahari memeluk malam, bulan tak datang, hanya dingin menyelinap di sela-sela perjalanan pulang ke rumah. 

Malang, 22 Juni 2012

KEPERGIANKU


KEPERGIANKU


sudah kurentangkan
jalan setapak ke puncak
gunung berbunga itu
dengan sehelai selendang dan
cemeti aku menggeret takdir
menjadi tandu
gugur bunga pada sepi

Malang, 2003 (hamiddin)

KEHADIRANKU


KEHADIRANKU


Dinding waktu menyusun
sejarah, aku muntah
dari rahim ibu

Sesobek kain sarung
melumat tubuhku
tangisku bagian rerumputan
yang mengering di halam takdir

Malang, 2003 oleh: hamiddin