Selasa, Juli 10, 2012

KEPERGIANMU TELAH MERIMBUNKAN GELISAHKU


KEPERGIANMU TELAH MERIMBUNKAN GELISAHKU
(aku tak bisa mengakhiri sesuatu yang harus kuakhiri. Kubiarkan ia berakhir sendiri, entah kapan?)
Hamiddin

Sepi menyendiri. Kota yang dingin kembali merampas tawa dan candamu, meski hanya sekejab, aku tergores oleh kerinduan yang nyeri tapi pasti. Dalam hidup, aku tak mampu ketika menghadapi sebuah kepergian, kepergian orang terdekatku, meskipun kepergian itu hanya sebentar, tapi bagiku: kepergianmu telah merimbunkan resahku, membuatku sekarat seperti para filosof yang terbaring di rumah sakit jiwa untuk menemukan sebuah kebenaran, seperti penyair yang kehilangan kata-kata ketika hendak mencipta dan menulis hasrat hatinya, seperti malam tanpa cahaya. Aku sadar bahwa apa yang ada dalam diriku adalah sebuah titipan, sebuah singgahan, yang sewaktu-waktu akan pergi, sebentar ataupun lama.
Ketukan jemari waktu terus membiru, menggerogoti hari-hariku, merangkul gelisahku. Untuk mengatakan kesepian dan kesedihanku, airmata tak cukup untuk menampungnya, hanya laut di dada dan telaga di pikiranku yang masih setia memberi harapan padaku, sebuah harapan bisa bersua dengan senyum dan manjamu.
Sepi masih membalutku, ia tak mau beranjak pergi ataupun mengungsi. Dalam lamun dan renungku, kudengar sayup-sayup sepi berbisik padaku: “aku adalah pengembara, aku mau numpang dan menetap sebentar di rumahmu, paling lama satu bulan, setelah itu, aku akan pergi melanjutkan perjalanan sembari mencari tempat lain tuk berteduh ketika hujan dan panas, maka izinkan aku singgah”. Begitulah sepi menuturkan hasratnya padaku, meski aku tak suka, aku harus tetap bisa menerimanya.
Sebagai manusia, aku harus berterima kasih atas nikmat sebuah kepergian, karena kepergian akan mengingatkanku bahwa betapa berharga sebuah pertemuan. Satu hal yang aku pahami dari kepergian, bahwa manusia harus bisa mensyukuri sebuah pertemuan—berbuat baik sebanyak mungkin. Salah satu isyarat Tuhan berkaitan dengan perpisahan dan pertemuan, adalah pertemuan dua hamba Tuhan, Nabi Adam dan Siti Hawa. Ketika Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke muka bumi di tempat berbeda, untuk waktu yang lama (40 tahun), kemudian mereka bertemu sembari membawa kepingan rindu masing-masing, oh…betapa indahnya pertemuan itu, setelah lama berpisah. Setetes perpisahan (kepergian) adalah laut dan telaga dalam sebuah pertemuan.
Dalam sepi dan rinduku, sejengkal harap masih kugurat, semoga kamu selalu baik-baik saja. Semoga senyum dan manjamu tumbuh kembali di kebun hidupku menjadi bunga dan ilalang ketika kita bertemu lagi. Amien…

Malang, 2 Agustus 2006

0 comments: