Kamis, Oktober 27, 2005

Mengenang Kisah Bernama : 'Percakapan' dan 'Pertemuan'

Di Bilik Ramadhan 16
: percakapan 4 April 2002

Beberapa tahun lalu, gerimis, di sebuah Ashar, kita terjebak dalam ganjilnya percakapan :
“aku hendak pergi mencari sunyi, tempat paling teduh membasuh luka, mau ikut?”
Mendekam dalam batu, bibirmu merapat seperti salju
Suaramu hening, hanya dingin bermukim dalam gigilmu

“sekarang atau kujemput sebelum pagi, biar embun tak terlalu lama menunggu matahari”
dengan ritmis seadanya, bekumu semakin mengeras
alif-alif itu tak beranjak dari lelapmu
sementara sisanya dijarah hujan

akupun berangkat
ketika kamu memberi isyarat
: biar kulengkapi mimpi, kemana ia harus mengungsi
katamu.

Malang, 24 September 2005.


Di Bilik Ramadhan 18
: pertemuan 6 April 2002

Sore melanjutkan kisahnya
kurapikan matahari sebelum aku pergi
menjelajahi cuaca yang kau tinggalkan sendiri

di bilik tak berpenghuni
aku bersetubuh dengan gerimis
ketika kureguk bibir dan kukecup keningnya
semakin erat ia merangkul gigilku
: temani aku dalam badaimu
bisiknya

Malam melengkapi kisah senja
sebutir rindu mengeras batu
menjadi jalan kecil dalam tidurku

ketika sisa gerimis yang kusetubuhi
mengungsi ke bilik-bilik lain
kau datang padaku
membawa air dan batu
: inilah sungai hidupku, bermuarakah aku pada lautmu?
tuturmu

Malang, 27 Oktober 2005

Rabu, Oktober 19, 2005

Di Bilik Ramadhan

Puisi-Puisi Hamiddin


Di Bilik Ramadhan 12

Ada yang bertamu lagi padaku
Tapi bukan gigil, dingin dan sepi
Ia menyebut namanya: sendiri

Malang, 18 Oktober 2005


MEMBACA ALBUM

Di ujung hembusan angin
Debu-debu melecut derapnya,
Masa lalu mencatat album tanah dan memoriar luka
Kemanakah lorong sungai mengalir kau bawa?

Dengan rembang yang meradang seadanya
Bingkai hidup memasung aroma tembakau dan kehangatan batu-batu
Biarkan musim mengorek gigirnya
Karena sebentar lagi gerimis………. kemudian hujan
Sementara kita akan mencari teduh
Sembari menafsirkan lepuhnya tanah

Malang, 19 September 2005



PENGANTIN
Pro: Yaya’

malam bersandar pada keningku
sujudku basah bersama bibirmu
mungkin di persimpangan doaku
“kaulah pengantinku!!!”

Malang, 19 September 2005


Di Bilik Ramadhan 3

bulan menetas dari rahim langit
guratannya serupa bibirmu
dan kuduga, bulan itu adalah dahagamu
yang menjadi peluru
tak henti-henti memburuku merindu-rindu

maghrib, darinya bermulanya kecupan
untuk mengendapkan harapan
subuh, darinya kehangatan dipastikan
untuk mengentalkan kopi
pertemuan

bila bulan itu bibirmu adanya
ingin kukecup ia tanpa rasa, selain cinta….

Malang, 8 Oktober 2005



Di Bilik Ramadhan 11

Gigil, dingin dan sepi
Bertamu dalam nadi
Kuajak mengaji
Mencari galaksi

Aku datang sebelum pagi
Mencari tadarusmu hilang pergi
Dimanakah kamu mengungsi?

Sebab puisi bukanlah telaga sehangat matahari
Kuputuskan kau kutelusuri
Hingga kau kutiduri
Dengan nafiri nyeri lelaki

Malang, 18 Oktober 2005



Bunuh Aku

Engkau Ibrahim
aku isma`iel
sembelih aku
dengan segenap cintamu

Malang, 1 Pebruari 2004


Email dari Kekasihku 2

di pinggir musim
gerimismu
: Gigil aku dalam badaimu

Malang, 23 Pebruari 2004



MEDITASI

Pada gigir celurit-mu
Kudaki ritmis takdirku
Hingga puting-puting doa
Kukecup penuh susu

Malang, 2004

Sekedar Ulasan Kecil Terhadap 3 Puisi di Majalah Syir'ah April 2005

Jiwa dan Raga dalam Puisi
(Kritik untuk Tiga Puisi Hamiddin Syam)
Oleh Sainul Hermawan *


Sekitar Mei 2005, seorang penyair muda berbakat dari Madura, alumni fakultas keguruan (tetapi belum jadi guru secara formal, meski telah jadi guru bagi banyak orang yang telah jadi guru), jurusan bahasa Inggris (yang tak suka menulis sajak dalam bahasa Inggris), mengirim email kepada saya di seberang. Katanya:

Kepada Mas Sainul Hermawan
Di Kalimantan

Asslamu’alaikum wr. wb.

Inilah tiga puisi saya yang dimuat di Syir’ah edisi April 2005 (puisi terlampir). Dengan ini pula saya mohon tiga puisi ini dianalisis atau dikritik atau dibantai, jangan lupa kirimkan ulasannya ke email
saya. …. Terima kasih.

Wassalam

Hamiddin



Saya merasa tersanjung karena dia masih mengingat saya, sebagai teman diskusi dan mantan dosennya, dan yang paling memerindingkan perasaan saya adalah keyakinannya bahwa saya bisa mengeritik sajaknya meski dia tahu bahwa saya tak pernah mampu membuat puisi sebaik dan sebanyak dia. Semoga ini bukan gejala dunia yang terbalik. Semoga kritik-kritik yang pernah saya lontarkan padanya memang membantu memperbaiki kualitas sajak-sajaknya sehingga tak sia-sia saya meluangkan waktu, menggerakkan jari, memelototkan mata membaca berulang-ulang sajak-sajaknya, dan memutar pikiran.
Semoga kelak, jika dia sempat menjadi penyair besar masih ingat saya bukan dalam rangka untuk membayar semua honor evaluasi puisinya, tetapi mengajak berdiskusi kembali dalam suasana yang tetap selalu dalam suasana saling berendah hati. Semoga kelak ia tak seperti Abdul Hadi WM, penyair sufi, yang ketika ia telah tenar tak pernah ingat lagi momen indahnya bersama orang yang selalu diajaknya mendiskusikan puisinya saat dia kuliah di UGM. Orang yang dilupakannya itu adalah Rahmat Djoko Pradopo, seorang kritikus sastra di UGM. Menurut Pradopo, Abdul Hadi pernah sangat intim mendiskusikan sajak-sajaknya yang belum jadi, tetapi dia sangat menyayangkan apashia personalnya saat dia jadi penyair tenar.
Kepada siapapun yang membaca hasil evaluasi ini, sebaiknya bersikap skepstis agar penafsiran lain dapat berkontestasi dan kita dapat terhindarkan dari sikap menang sendiri, merasa benar sendiri, sehingga kelak saya pun dapat membaca dari sudut pembacaan yang lain. Evaluasi dalam tulisan ini cenderung bersifat spontan, meskipun dapat juga dirasakan kehadiran nuansa teori di sana-sini. Secara berturut-turut, dengan menggunakan dua bingkai pradigma utama, yaitu sajak sebagai forma dan sajak sebagai wacana, saya akan mencoba memberikan masukan bagi ruang kosong, atau lema, atau entri makna yang belum terdefinisikan dalam ketiga sajak Hamidin Syam.

Tak Ada Lagi

tak ada yang lain
yang bisa kujanjikan padamu
kecuali embun pada daun pisang yang terus mengental
sebab api tak mampu membayar hutang.

26 Januari 2005

Apa yang dapat kita rasakan ketika kita memandang, menyentuh, atau membayangkan embun yang bertengger di daun pisang? Kesejukan, kedamaian, keindahan, rasa was-was, atau ketakberdayaan? “aku” lirik dalam sajak yang ditulis oleh penulis muda berbakat ini merasakan kekuatan embun melampaui kekuatan api untuk melunasi janji. Janji memang tak dapat dilunasi dengan embun yang mengental secara harfiah, tetapi ia telah menjadi sikap “aku” lirik untuk menunjukkan ketakyakinannya kepada api metaforik sebagai kekuatan untuk mengatasi segala persoalan yang dihadapinya. Kembali ke embun dan menjauhi api adalah langkah awal yang baik sebelum langkah terakhir melunasi janji.
Sajak ini adalah kwatrin atau sajak terikat empat larik yang aneh. Aneh karena ia tak berima akhir. Meski demikian, nuansa rima dalam (internal rhyme) masih dapat dirasakan pada persinggungan rima pada diksi padamu dan mampu, serta pisang dan hutang. Selain itu, rima dalam terekam dalam repetisi dua tak. Mungkin penulis memang sadar bahwa substansi kekacauan pikiran harus direalisasikan dalam sajak terikat yang dibebaskan, dalam sajak yang tak perlu rima yang rapi dan penuh harmoni bunyi. Pikiran yang kacau itu mencuat dari pertarungan metaforik antara embun (air) dan api.
Sajak ini merefleksikan kebingungan yang membingungkan. Ketakyakinan “aku” lirik kepada api sebagai solusi tidak berarti secara absolut sebagai keyakinannya pada embun. Janji yang ingin dipenuhi dengan embun masih berupa janji sehingga embun itu tak segera menjadi kongkret dan mengejawantah. Embun sebagai antitesis bagi api masih bersemayam di imajinasi.
Apakah kemudian sajak ini berhasil menyejukkan pembacanya, itu urusan yang mungkin terjadi, tetapi bagi saya puisi ini seperti seseorang yang tersedak karena diksi yang dikunyah masih tampak kurang terpilih, dan terkesan asal pilih. Akibatnya, seseorang dalam sajak ini bukan saja tersedak, bahkan terasa tercekat, tak mampu berbicara lebih panjang dan rumit tentang imajinasi embun, api, dan hutang.


Rebah Bulan

subuh melampaui janji
sebelum melati dipetik
dari hulu akarnya
semakin erat mendekap dadaku

malam menakar dzikir
ketika keringat menyingkir
dari perdu-perdu tubuhku
kutamatkan musimmu
dengan taji karatku

akankah pengantin itu merebahkan bulan
di atas bebatuan atau di jeram air sungai
yang bertelaga di sukmaku?

SASTRA Pesantren dan Tubuh
Saya mengenal penulis ajak ini berasal dari pesantren, sebuah institusi pendidikan agama dan moral. Pesantren biasanya pun ikut membangun imajinasi yang normatif tentang tubuh. Tetapi ketika alumnusnya bereksperimen dengan diksi-diksi tubuh, terbesit pertanyaan apakah diksi itu tidak terkesan eksperimen yang bersifat normatif belaka, atau dalam ungkapan yang agak kasar: apakah penyair ini sekedar latah bermain-main dengan kosa-kata bernuanasa tubuh agar ia tak dikatakan sebagai penyair norak dan ketinggalan zaman: zaman tubuh? Ini adalah tafsiran antropologis karena saya mengenal si penyair.
Bagi mereka yang tak kenal, dapat memasuki sajak ini dari pintu lain dan sah-sah saja anda punya tafsiran yang lain dari tafsiran ini. Tetapi, mungkin saja saya sama sekali tak mengenal sang penyair dalam pengertian yang paling substantif dan esensial. Dengan kata lain, mungkin saya hanya mengenal penulis ini sebagai penampakan permukaan dan tak mampu menyelam dalam ke relung-relung pengalaman masa lampaunya yang mungkin juga menjadi inspirasi sehingga dia menulis tubuh sedemikian rupa “merangsang”.
Keserbarumitan pengalaman yang mustahil ditembus oleh satu pemahaman saja pasti juga dialami oleh redaktur Syir’ah yang mungkin telah menganggap sajak tubuhnya sebagai wacana liberalisasi tubuh. Maka sajaknya sebagai wacana berada dalam payung wacana tubuh yang lebih besar, sebuah wacan besar tetap bukan sebagai pusat kendali estetika yang otoriter, namun secara “ikhlas” mungkin juga diamini oleh sajak ini.

Jam 00.30 pintu rumahmu merapat
Ku buka pelan-pelan, kau terlentang
Dengan dada telanjang
dan kukecup tubuhmu dengan gigir belati
yang kuasah pada kilatan-kilatan matahari
seperti di waktu rembang ketika kita melupakan tuhan
Dalam puncak meditasi binatang

(Sajak “Akhir Dialog”, bait ke-2 dari 6 bait)

Tubuh di sajak ini pasti sangat mendua, karena beberapa waktu yang lalu penulisnya menegaskan bahwa segala yang liberal hanya sudut pandang. Tubuh dalam sajak ini bisa tubuh penyair sendiri dan tubuh-tubuh disekitarnya, dan bisa pula bukan tubuh siapa-siapa: ya semacam tubuh simulasi yang dipergunakan hanya untuk keperluan permainan-permainan. Semoga Anda tak percaya bahwa ketiga sajak Hamiddin memang bermakna demikian.
Banjarmasin, 3 Juni 2005
* Penulis adalah dosen sastra di UNLAM. Bukunya yang telah terbit: Tionghoa
Dalam Sastra Indonesia (Analisis Wacana Foucaultian Novel Cabaukan Karya Remy Sylado)