Sabtu, Juli 14, 2012

AKU INGIN MENGUSAP EMBUN DI KELOPAKNYA


AKU INGIN MENGUSAP EMBUN DI KELOPAKNYA
Hamiddin

Mata itu kembali menetap, membuka jendelanya, setelah semalaman ia terlelap bersama angin dan gerimis. Dari rahim mata itu lahirlah bayi-bayi mungil yang bernama kesedihan dan kegembiraan.
Mata adalah teka-teki. Karenanya kita berspekulasi menebak makna embun bening yang luluh dari kelopaknya, entah itu gelisah atau riang, aku tak tahu, hanya ia yang tahu dan paham makna bahasa embun bening itu sendiri….

Ia mulai beranjak dari tempat yang jauh, setelah seharian ruang korneanya menyimpan ribuan enigma. Sebuah perjalanan kosong telah ia lalui, entah bersama siapa, siapa yang ia ajak, dimana, dan mau kemana, tak ada yang tahu. Mata itu mengajakku mengarungi sebuah telaga melalui tatapan hangatnya yang sampai detik ini masih kurasakan. Telaga yang ingin ia kunjungi adalah gemuruh dimana segala hasrat tumpah menggenangi kedalamannya. Aku tak bisa beranjak dan menolak tatapan itu, ada magnet dan magma yang sewaktu-waktu bisa membuatku tak berdaya apalagi tatapannya lebih dahsyat sejak pertama kali aku mengenalnya, sebuah tatapan penuh dengan makna ganda.
Pada mata itu sebuah perjalanan seseorang ditentukan, kehadirannya membuat dunia penuh cahaya dan warna-warna. Karenanya ia memberi kita jalan kecil untuk menyusuri hutan-hutan kehidupan, mencari jejak yang hilang, mengantarkan kita pada halte-halte pengembaraan. Pada mata itu kita menumpukan harapan, tanpanya dunia adalah temaram, tak ada bulan, tak bintang, tak ada bunga, tak ada perjalanan yang mengesankan. Maka, adalah wajar bila kita mengatupkannya ketika lelah, menundukkanya ketika terlalu banyak tengadah.
Lama aku menatap mata itu, sepasang mata yang sewaktu-waktu membukanku pintu untuk mengenal lebih dalam tentang makna diri yang memilikinya. Terkadang ia memberiku kesempatan untuk berimajinasi memasuki ruang-ruang tubuh lain yang semestinya tidak perlu aku lakukan. Tapi apa boleh buat, ketika aku terjebak pada cerminnya, aku tak bisa pergi, bahkan ia membawaku mengelilingi semesta, mengarungi lautan asmara, dan menghempaskanku seketika.
Pada bilik yang ia huni, ada kehangatan yang tersembunyi, ada pagar yang tertata rapi, ada ruang untuk mencari mimpi dan makna diri. Ia mengandung ribuan gejala, cuaca, musim, dan cerita kehidupan yang tak terkatakan oleh kata-kata. Ia terkadang begitu misteri dan terkadang begitu polos untuk mengatakan sesuatu. Ia telah meragukanku: benarkah yang ia katakan benar adanya, seperti sifat dan warna yang khas ia miliki.
Mata itu adalah lembah tempatku mengasuh gelagat dan gelora alam. Mata adalah cakrawala untuk menemukan dunia lain, dunia yang hanya bisa kita temukan dalam dirinya. Mata adalah pelangi tempat mengeramnya warna-warni perjalanan hidup manusia. Dari mata itu aku tahu siapa diriku, aku tahu apa yang mesti aku katakan tentangnya, aku tahu bagaimana bercermin darinya, aku tahu bagaimana cara memahami musim-musimnya. Sekarang, sudah waktunya aku pergi, menjauh bahkan mengungsi darinya karena aku telah mengerti bahasa tatapannya, bahasa redupnya, bahasa nanarnya dan bait-bait kedipannya. Sebentar, sebelum aku benar-benar pergi, beri aku kesempatan untuk mengusap embun yang menggenangi kelopaknya dan menatapnya untuk yang terakhir kali sebelum ia beranjak untuk tidur panjangnya.

Malang, 17 Maret 2006, pada tatapan hangat sepasang mata

0 comments: