Kamis, Desember 29, 2005

walau aku takkan pernah sampai pada nyerimu

IA BERNAMA KEMARAU

Kemarau, sebut saja namanya Kemarau, ia dilahirkan oleh sepasang kekasih Ibu yang bernama Bumi dan Ayah yang bernama Matahari. Perkawinan Bumi dan Matahari melahirkan Kemarau. Kemarau hanya lahir di sebuah kampung tertentu. Seandainya ia dilahirkan di kampung lain, mungkin namanya bukan kemarau, Kemarau bisa saja bernama Semi, Gugur, Panas, Dingin dan banyak nama yang bisa diberikan oleh kedua orang tuanya. Kemarau menjalani hidupnya dengan sikap sederhana, dia dikenal sebagai sosok yang akrab dengan lingkungannya. Dia tak pernah sekolah, dia hanya belajar secara otodidak untuk mengembangkan dan membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan tentang bagaimana menjalani hidup ini. Kemarau banyak memperoleh pengalaman hidup dari alam di mana ia tinggal, kampung yang tentram dan sejahtera.
Kemarau suka menyendiri, mencari tebing-tebing tempat dia memanjatkan segala hasratnya, suka duduk di pinggir sungai sembari mengamati keindahan lekuk tubuh air dan birahi batu-batu. Ia suka memetik daun-daun yang perlahan-lahan menguning, ia suka mengeringkan rumput dan sering menanam perdu di pematang-pematang sawah, ia suka menemani padi yang mulai menguning, ia suka bermain debu, ia suka berjalan menyusuri bukit hijau, ia suka menulis harapnya pada batu-batu cadas, ia suka merantau. Ia suka mengais garam di ladang-ladang kehidupan. Ia memang aneh dan berbeda dari teman-teman sepermaianannya.
Waktu terus berkemas, hendak pergi melelahkan diri kemudian tidur di pelapah musim. Sore itu Kemarau berdiri tegap di atas sebuah karang tinggi, di pinggir laut, ketika matahari mulai redup, dan cahaya semburat memerah, Kemarau berteriak lantang “Senja kenapa harus engkau yang memberiku luka! Kalau luka ini akan menjadi tato hidupku, biarkan luka ini tak lupa akan warna darahnya, cukup engkau memberi arti hidup wahai senja, cukup…. tak perlu diteruskan, sebab hari ini, malam ini, aku sedang menunggu bulan di pematang langit, tempat ilalang mengais hasrat purbanya”. Habis teriakan lantang itu, suara Kemarau tak lagi bergema, buru-buru ia melompat ke dasar laut, menjadi gumpalan-gumpalan ombak dan desiran angin di tepi-tepi pantai, dan ia berkata padaku: “aku ingin tidur pada kesendirianmu, Sahabat! Sebut saja namaku Kemarau.”

Malang, 13 Nopember 2005.



WAJAH, MATA DAN BIBIR

Wajahmu yang purba
Membuatku lupa segala warna

Memantul pelangi putih
Dari pelupuk hijau padang ilalang keningmu
Setelah hujan memotret tubuhmu
Kau tersungkur menjadi tanah liat
Yang tak sepekat tahilalat

Matamu yang teduh
Membuatku hilang seluruh

Biji-biji musim mengeping
Tumbuh serimbun lukamu
Setelah kabut lindap di tikungan sebelah jembatan
Matahari mengendap-endap
Mencari pagi yang tak lengkap

Bibirmu yang pasi
Mengeram butiran-butiran galaksi
Sungguh, selain nurani, kau juga birahi

Malang,13 Nopember 2005


SEBENARNYA, AKU HANYA BUTUH PELUKAN

Sehabis Dhuhur, langit buram dan mataharipun tak lagi berkacak pinggang, awan kelabu membungkam segala hasrat, termasuk hasrat burung-burung yang hendak menjumput secuil kenyang. Gerimis pun runtuh, menikam jantung dedaunan dan mengajak seluruh makhluk untuk berhenti sejenak, jeda: mengenang diri pada lamunan nurani, dimanakah aku mesti bersembunyi? Hamparan gerimis menumbuhkan kepingan-kepingan dingin, butiran kabut dan gigil. Aku kembali melihat larva rambutmu yang terurai di kamar tidurku, entah bersama siapa dirimu terlelap. Dari guratan wajahmu, aku berspekulasi bahwa kamu tidur bersama kesendirian dan keterasingan, sebut saja itu gundah. Entah benar atau tidak, itu hanya rangkuman mataku yang menggumpal dalam palung hatiku.
Dingin telah memberiku sedikit ruang untuk mengigil, meskipun aku terkadang pura-pura dingin untuk mendapatkan kehangatan sebuah pelukan, seperti bayi yang merindukan pelukan hangat seorang ibu, begitu juga diriku. Dimanakah kehangatanmu engkau selipkan, atau mungkin dalam pelukanmu aku tak merasakan kehangatan apapun, sebab aku terlalu bodoh untuk menafsiri dingin dan kehangatanmu.
Ketika dingin menyelinap merasuki diriku, kehangatan itu semakin hilang, lenyap, dan pudar entah kemana. Dalam dingin sedingin ini, siapa yang tak akan lupa warna kulitnya sendiri, siapa yang tak akan lupa warna jiwanya sendiri, maka dengan segala gigil ini, kembalikan kehangatan itu padaku, kembalikan sebelum aku beku dan aroma darahku mengungsikan amisnya. Dalam situasi seperti ini, aku butuh kehangatan, bukan kehangatan matahari, bukan kehangatan tubuhmu, bukan kehangatan pelukanmu, bukan kehangatan jenismu, bukan kehangatan musim dan cuaca, aku hanya butuh kehangatan diriku sendiri, kehangatan yang tercipta dari pernikahan jiwa dan pikiran yang melahirkan kehangatan sesungguhnya.
Hening memang tak selamanya bening, dingin tak selamanya gigil, panas tak selamanya kemarau, dan hangat tak selamanya pelukan. Oh …….. senyap katakan padanya aku benar-benar dingin dan gigil,aku tak main-main. Wahai…. kabut yang telah membalut, apa yang harus kulakukan untuk meredakan gigilku, sementara segala bentuk kehangatan telah kehilangan maknanya, atau kehangatan sebuah dekapan itu memang tidak pernah ada, hanya ilusi? Katakan padaku bagaimana meruapkan dingin ini menjadi kehangatan-kehangatan yang hakiki?
Malang, 22 Nopember 2005.

BUAT IBU

Bongkahan cakrawala muntahkan bulan
guratannya serupa tuturmu, ibu
pasti bulan itu adalah doamu
yang terus mengental sekeras salju
menjadi warna putih di reruntuhan sepiku

ibu, musim-musim terus mengungsi
pada perigi dan pinggir kali
aku tak mengerti pertanda apa ini
yang kutahu hanya harapmu yang tak sepi-sepi
mengantarkanku hingga ke tepi
tempatku mempertaruhkan selaksa mimpi

ibu, sepanjang jalan nafasku
aku ingin menghapus kecut air matamu
walau aku takkan pernah sampai pada nyerimu

Malang, 15 Desember 2005