Selasa, Agustus 28, 2012

25 HARI DALAM KEBERSAMAAN



25 HARI DALAM KEBERSAMAAN

Hamiddin

Lengkingan malam lenyap di balik rona fajar yang membujur membentuk gumpalan dan berkas putih di tepian penantian pagi. Kumundang adzan kembali terdengar memanggil jiwa yang terlelap dalam mimpi, membangunkannya dari lembah lamunan dan imajinasi menuju alam realitas dan gambaran hidup sejati. Di malam hari aku bermimpi, di pagi hari aku mencari dan mengaji ayat-ayat Tuhan di sepanjang jalan yang akan kulalui, menjelang magrib aku kembali sepi dan sebentar lagi akan kembali ke haribaan tanah lempung (asal mulaku).

Sejak beberapa hari yang lalu, ramadhan terhampar luas, kita merenda hari dengan benang berwarna-warni, kita telah menyulam kebersamaan dalam wadah pertemuan sejak akhir bulan Agustus lalu, dimana gelisahku telah selesai ketika tuturmu menjadi percakapan kita di lempengan pagi, siang, sore dan malam hari. Di awal percakapan itu, aku hendak menanam sebatang ilalang rindu di savanna senyummu hingga akhirnya kutemukan kepastian di sebelah mana benih ilalang itu tumbuh menjadi padang yang rimbun, menjadi tempat peristirahatanku ketika penat kembali melekat dalam perjalananku, sembari kusaksikan ribuan capung dan kupu-kupu bermain dan menawarkan resahku.

Malam…di teras depan ramadhan ini, aku hendak menyampaikan ma’af atas segala bentuk ketidaksempurnaan dan kekhilafanku ketika kita bersama. Aku yakin ada banyak hal yang tak berkenan di hatimu, karena perilaku, ucap dan tatapanku telah melukai atau paling tidak membuatmu resah dan merasa bersalah, itulah aku dengan segala kekuranganku. Berangkat dari belajar menjadi orang baik bersamamu, aku mohon ma’af karena di bulan yang mestinya kita buat kesempatan untuk menempa diri dan menjadi lebih berarti dalam hidup ini, aku telah mengajakmu memasuki wilayah yang tak semestinya terjadi, sebuah wilayah yang disebut manusia sebagai hedonisme dan kapitalisme, lupa berbagi dan lupa bernafiri. Inilah salah satu keterbatasanku, ketika aku tak mampu membawa nilai-nilai ibadah dan puasaku dalam aktivitas sosialku. Malam... beri aku senyum ketika aku menangis, beri aku tangis ketika aku senyum, beri aku sapa ketika aku diam, beri aku cerita ketika aku bosan membaca sajak-sajak cinta, beri aku tongkat ketika aku tak mampu menjadi diriku sendiri, itu yang kuharap dari pertemuan kita selama ini, saling mengerti, saling memberi dan mengisi hidup ini dengan hal-hal yang berarti di mata manusia dan Tuhan.

Sebelum sore ditelan rembulan, aku ingin mengajakmu menepi pada sebuah pantai, dimana ombak dan angin berdzikir dan saling mengingatkan bahwa perjalanan ke depan tak cukup dengan berbekal sebungkus cinta, tapi juga harus dibekali kesetiaan, pengertian dan saling mema’afkan. Rasa syukur dan terima kasihku terus aku katakan, sebab dengan mengenal dan bertemu denganmu, aku bisa melihat matahari pagi di jendela hidup yang lain, aku bisa menyemai bunga di ladang rindu yang lain, hingga di akhir harapan, takdir menyakinkanku bahwa kita akan bersama, menjadi satu kesatuan yang disebut keluarga.

Di perigi ramadhan
Dalam sujudku yang hampa
Ma’afkan aku Malamku
Jika genggam tanganku pada jemarimu
Telah menumbuhkan luka di hatimu
jika kecupku pada keningmu
telah mengungsikan kemanusiaanmu
jika tuturku dalam percakapan denganmu
telah membuatmu lupa bahasa dirimu

Malang, 29 Oktober 2006

0 comments: