Rabu, Oktober 19, 2005

Sekedar Ulasan Kecil Terhadap 3 Puisi di Majalah Syir'ah April 2005

Jiwa dan Raga dalam Puisi
(Kritik untuk Tiga Puisi Hamiddin Syam)
Oleh Sainul Hermawan *


Sekitar Mei 2005, seorang penyair muda berbakat dari Madura, alumni fakultas keguruan (tetapi belum jadi guru secara formal, meski telah jadi guru bagi banyak orang yang telah jadi guru), jurusan bahasa Inggris (yang tak suka menulis sajak dalam bahasa Inggris), mengirim email kepada saya di seberang. Katanya:

Kepada Mas Sainul Hermawan
Di Kalimantan

Asslamu’alaikum wr. wb.

Inilah tiga puisi saya yang dimuat di Syir’ah edisi April 2005 (puisi terlampir). Dengan ini pula saya mohon tiga puisi ini dianalisis atau dikritik atau dibantai, jangan lupa kirimkan ulasannya ke email
saya. …. Terima kasih.

Wassalam

Hamiddin



Saya merasa tersanjung karena dia masih mengingat saya, sebagai teman diskusi dan mantan dosennya, dan yang paling memerindingkan perasaan saya adalah keyakinannya bahwa saya bisa mengeritik sajaknya meski dia tahu bahwa saya tak pernah mampu membuat puisi sebaik dan sebanyak dia. Semoga ini bukan gejala dunia yang terbalik. Semoga kritik-kritik yang pernah saya lontarkan padanya memang membantu memperbaiki kualitas sajak-sajaknya sehingga tak sia-sia saya meluangkan waktu, menggerakkan jari, memelototkan mata membaca berulang-ulang sajak-sajaknya, dan memutar pikiran.
Semoga kelak, jika dia sempat menjadi penyair besar masih ingat saya bukan dalam rangka untuk membayar semua honor evaluasi puisinya, tetapi mengajak berdiskusi kembali dalam suasana yang tetap selalu dalam suasana saling berendah hati. Semoga kelak ia tak seperti Abdul Hadi WM, penyair sufi, yang ketika ia telah tenar tak pernah ingat lagi momen indahnya bersama orang yang selalu diajaknya mendiskusikan puisinya saat dia kuliah di UGM. Orang yang dilupakannya itu adalah Rahmat Djoko Pradopo, seorang kritikus sastra di UGM. Menurut Pradopo, Abdul Hadi pernah sangat intim mendiskusikan sajak-sajaknya yang belum jadi, tetapi dia sangat menyayangkan apashia personalnya saat dia jadi penyair tenar.
Kepada siapapun yang membaca hasil evaluasi ini, sebaiknya bersikap skepstis agar penafsiran lain dapat berkontestasi dan kita dapat terhindarkan dari sikap menang sendiri, merasa benar sendiri, sehingga kelak saya pun dapat membaca dari sudut pembacaan yang lain. Evaluasi dalam tulisan ini cenderung bersifat spontan, meskipun dapat juga dirasakan kehadiran nuansa teori di sana-sini. Secara berturut-turut, dengan menggunakan dua bingkai pradigma utama, yaitu sajak sebagai forma dan sajak sebagai wacana, saya akan mencoba memberikan masukan bagi ruang kosong, atau lema, atau entri makna yang belum terdefinisikan dalam ketiga sajak Hamidin Syam.

Tak Ada Lagi

tak ada yang lain
yang bisa kujanjikan padamu
kecuali embun pada daun pisang yang terus mengental
sebab api tak mampu membayar hutang.

26 Januari 2005

Apa yang dapat kita rasakan ketika kita memandang, menyentuh, atau membayangkan embun yang bertengger di daun pisang? Kesejukan, kedamaian, keindahan, rasa was-was, atau ketakberdayaan? “aku” lirik dalam sajak yang ditulis oleh penulis muda berbakat ini merasakan kekuatan embun melampaui kekuatan api untuk melunasi janji. Janji memang tak dapat dilunasi dengan embun yang mengental secara harfiah, tetapi ia telah menjadi sikap “aku” lirik untuk menunjukkan ketakyakinannya kepada api metaforik sebagai kekuatan untuk mengatasi segala persoalan yang dihadapinya. Kembali ke embun dan menjauhi api adalah langkah awal yang baik sebelum langkah terakhir melunasi janji.
Sajak ini adalah kwatrin atau sajak terikat empat larik yang aneh. Aneh karena ia tak berima akhir. Meski demikian, nuansa rima dalam (internal rhyme) masih dapat dirasakan pada persinggungan rima pada diksi padamu dan mampu, serta pisang dan hutang. Selain itu, rima dalam terekam dalam repetisi dua tak. Mungkin penulis memang sadar bahwa substansi kekacauan pikiran harus direalisasikan dalam sajak terikat yang dibebaskan, dalam sajak yang tak perlu rima yang rapi dan penuh harmoni bunyi. Pikiran yang kacau itu mencuat dari pertarungan metaforik antara embun (air) dan api.
Sajak ini merefleksikan kebingungan yang membingungkan. Ketakyakinan “aku” lirik kepada api sebagai solusi tidak berarti secara absolut sebagai keyakinannya pada embun. Janji yang ingin dipenuhi dengan embun masih berupa janji sehingga embun itu tak segera menjadi kongkret dan mengejawantah. Embun sebagai antitesis bagi api masih bersemayam di imajinasi.
Apakah kemudian sajak ini berhasil menyejukkan pembacanya, itu urusan yang mungkin terjadi, tetapi bagi saya puisi ini seperti seseorang yang tersedak karena diksi yang dikunyah masih tampak kurang terpilih, dan terkesan asal pilih. Akibatnya, seseorang dalam sajak ini bukan saja tersedak, bahkan terasa tercekat, tak mampu berbicara lebih panjang dan rumit tentang imajinasi embun, api, dan hutang.


Rebah Bulan

subuh melampaui janji
sebelum melati dipetik
dari hulu akarnya
semakin erat mendekap dadaku

malam menakar dzikir
ketika keringat menyingkir
dari perdu-perdu tubuhku
kutamatkan musimmu
dengan taji karatku

akankah pengantin itu merebahkan bulan
di atas bebatuan atau di jeram air sungai
yang bertelaga di sukmaku?

SASTRA Pesantren dan Tubuh
Saya mengenal penulis ajak ini berasal dari pesantren, sebuah institusi pendidikan agama dan moral. Pesantren biasanya pun ikut membangun imajinasi yang normatif tentang tubuh. Tetapi ketika alumnusnya bereksperimen dengan diksi-diksi tubuh, terbesit pertanyaan apakah diksi itu tidak terkesan eksperimen yang bersifat normatif belaka, atau dalam ungkapan yang agak kasar: apakah penyair ini sekedar latah bermain-main dengan kosa-kata bernuanasa tubuh agar ia tak dikatakan sebagai penyair norak dan ketinggalan zaman: zaman tubuh? Ini adalah tafsiran antropologis karena saya mengenal si penyair.
Bagi mereka yang tak kenal, dapat memasuki sajak ini dari pintu lain dan sah-sah saja anda punya tafsiran yang lain dari tafsiran ini. Tetapi, mungkin saja saya sama sekali tak mengenal sang penyair dalam pengertian yang paling substantif dan esensial. Dengan kata lain, mungkin saya hanya mengenal penulis ini sebagai penampakan permukaan dan tak mampu menyelam dalam ke relung-relung pengalaman masa lampaunya yang mungkin juga menjadi inspirasi sehingga dia menulis tubuh sedemikian rupa “merangsang”.
Keserbarumitan pengalaman yang mustahil ditembus oleh satu pemahaman saja pasti juga dialami oleh redaktur Syir’ah yang mungkin telah menganggap sajak tubuhnya sebagai wacana liberalisasi tubuh. Maka sajaknya sebagai wacana berada dalam payung wacana tubuh yang lebih besar, sebuah wacan besar tetap bukan sebagai pusat kendali estetika yang otoriter, namun secara “ikhlas” mungkin juga diamini oleh sajak ini.

Jam 00.30 pintu rumahmu merapat
Ku buka pelan-pelan, kau terlentang
Dengan dada telanjang
dan kukecup tubuhmu dengan gigir belati
yang kuasah pada kilatan-kilatan matahari
seperti di waktu rembang ketika kita melupakan tuhan
Dalam puncak meditasi binatang

(Sajak “Akhir Dialog”, bait ke-2 dari 6 bait)

Tubuh di sajak ini pasti sangat mendua, karena beberapa waktu yang lalu penulisnya menegaskan bahwa segala yang liberal hanya sudut pandang. Tubuh dalam sajak ini bisa tubuh penyair sendiri dan tubuh-tubuh disekitarnya, dan bisa pula bukan tubuh siapa-siapa: ya semacam tubuh simulasi yang dipergunakan hanya untuk keperluan permainan-permainan. Semoga Anda tak percaya bahwa ketiga sajak Hamiddin memang bermakna demikian.
Banjarmasin, 3 Juni 2005
* Penulis adalah dosen sastra di UNLAM. Bukunya yang telah terbit: Tionghoa
Dalam Sastra Indonesia (Analisis Wacana Foucaultian Novel Cabaukan Karya Remy Sylado)

0 comments: